matahari mencelup di embun pagi. perempuan itu mengeja
firman Tuhan sembari menghitung pualam yang tak
pernah selesai dipahami. berjuta menit telah ia larung mendeteksi
tanda dan pesan bagi langkahnya hari ini
seperti ribuan cahaya telah menjelma dalam kabut nebula yang
mengkristal. perempuan itu percaya satu saat pencariannya akan selesai
pada titik tak lagi ada tanya, sebab
jawaban tak lagi ia butuh, namun selagi angin
selatan masih meliukkan layar nelayan
ia tahu, tak pernah mampu ia tutup kitabNya
disana hidup matinya dan
kesana ia cari obat luka bahagianya
seperti pagi ini ketika
embun memeluk erat mataharinya yang perawan
ia terdiam dalam isak yang tak ia paham darimana
senantiasa datang setiap usai sujudnya yang
ke sekian
tanya tak harus berjawab kerapkali
tanpanya pun perempuan itu tahu
ia telah dimengerti
dan mengerti
meski esok
pasti ada lagi ribuan tanya yang
menelikungnya di ujung pagi
biar saja
saat itulah ia tahu
bahwa hidup masih mencintainya
Sabtu, 23 November 2013
Kamis, 21 November 2013
suatu ketika di kancah Indonesia
kukira hanya di televisi
dalam kisah sinetron
dan film-film eropa
pesta pora menggalang dana
plus bumbu zina
seorang wanita cantik
melelang ciuman seharga 5 juta
dibeli lelaki paruh baya
disaksikan seorang calon presiden
yang tak bisa bicara
menyaksikan calon rakyatnya berzina
di depan mata
bahkan ketika sang pembawa acara
memprovokasi semua untuk turut serta
merasakan bibir ranum sang wanita
yang tertawa-tawa saja dengan sukacita
duhai
negeri apakah ini?
dengan slogan mengumpulkan rupiah untuk beramal
lalu disahkan segala apa
asalkan duit tersedia
amal buat siapa?
politik??
... duhai ...
disini
belasan anak sekolah terpanggang matahari
mendengarkan pidato peringatan hari pahlawan
di bawah baliho
sang calon presiden
dalam kisah sinetron
dan film-film eropa
pesta pora menggalang dana
plus bumbu zina
seorang wanita cantik
melelang ciuman seharga 5 juta
dibeli lelaki paruh baya
disaksikan seorang calon presiden
yang tak bisa bicara
menyaksikan calon rakyatnya berzina
di depan mata
bahkan ketika sang pembawa acara
memprovokasi semua untuk turut serta
merasakan bibir ranum sang wanita
yang tertawa-tawa saja dengan sukacita
duhai
negeri apakah ini?
dengan slogan mengumpulkan rupiah untuk beramal
lalu disahkan segala apa
asalkan duit tersedia
amal buat siapa?
politik??
... duhai ...
disini
belasan anak sekolah terpanggang matahari
mendengarkan pidato peringatan hari pahlawan
di bawah baliho
sang calon presiden
Untuk Hanif dan Rahma
membacamu, Nak ...
tak pernah ada kata selesai
sebagaimana kubaca hidup
hari ini dan kemarin
entah dimana kuakhiri
entah bagaimana kumengerti
lalu seperti apa kupahami
terserah Sang Empunya
ketika Ia mengizinkan
kita saling membuka halaman
demi halaman
tak pernah ada kata selesai
sebagaimana kubaca hidup
hari ini dan kemarin
entah dimana kuakhiri
entah bagaimana kumengerti
lalu seperti apa kupahami
terserah Sang Empunya
ketika Ia mengizinkan
kita saling membuka halaman
demi halaman
Selasa, 19 November 2013
catatan rupiah
kubuka lembar diary
tak ada tentang catatan rupiah
padahal bila kelak aku pergi
lalu tak bisa kembali
pewariskulah sang pemangku janji
duhai, pena
bebal sangat jemari ini
tak jua meliukkanmu dalam catatan tentang kemarin
bagi penyambung lidah ku dan mereka
saat lisanku tak lagi bicara
maka kutulis saja sekarang
pada siapa aku punya janji
tentang rupiah dan segala macam angka
di kantor, pkk, organisasi, dan arisan keluarga
dan lain-lain
dan lain-lain
tak seperti kemarin
yang hanya kata-kata
diaryku kini berisi angka
bahasa mudah bagi mereka yang
membaca
lalu meneruskannya suatu ketika
yang aku tak ada
tak ada tentang catatan rupiah
padahal bila kelak aku pergi
lalu tak bisa kembali
pewariskulah sang pemangku janji
duhai, pena
bebal sangat jemari ini
tak jua meliukkanmu dalam catatan tentang kemarin
bagi penyambung lidah ku dan mereka
saat lisanku tak lagi bicara
maka kutulis saja sekarang
pada siapa aku punya janji
tentang rupiah dan segala macam angka
di kantor, pkk, organisasi, dan arisan keluarga
dan lain-lain
dan lain-lain
tak seperti kemarin
yang hanya kata-kata
diaryku kini berisi angka
bahasa mudah bagi mereka yang
membaca
lalu meneruskannya suatu ketika
yang aku tak ada
Hanif
menunggumu, anakku
seperti ketika berpuluh tahun lalu kutunggu kelebat hadir ayahmu
bersama ribuan kunang-kunang
dan selaksa doa
dalam dekap rindu
dan saat sms itu bergetar
pembatalanmu membuat hatiku patah
namun, tenanglah, Nak
semuanya tak membuat doaku menjadi lumpur
sebab seperti lautan yang terus berombak
Tuhan telah menitipkan cintaNya untuk
merekat kita berdua
selamanya
jadi teruskanlah langkahmu hari ini
kan kuterbangkan hatiku mendekapmu
dari
sini
seperti ketika berpuluh tahun lalu kutunggu kelebat hadir ayahmu
bersama ribuan kunang-kunang
dan selaksa doa
dalam dekap rindu
dan saat sms itu bergetar
pembatalanmu membuat hatiku patah
namun, tenanglah, Nak
semuanya tak membuat doaku menjadi lumpur
sebab seperti lautan yang terus berombak
Tuhan telah menitipkan cintaNya untuk
merekat kita berdua
selamanya
jadi teruskanlah langkahmu hari ini
kan kuterbangkan hatiku mendekapmu
dari
sini
Minggu, 17 November 2013
minggu siang di sebuah kedai
semangkuk bakso di atas meja
bersama sekumpulan botol saus aneka warna
diantara minggu siang dan deru kendaraan
menjadi pengganjal perut yang tak keroncongan
potret keluarga menengah sebuah kota yang tengah menata
dalam hiruk pikuk pilkada dan aneka hidangan politik
yang merambah hingga ke kedai-kedai
aku memandang secangkir kopi yang
mulai dingin
ketika seorang tukang parkir terkapar
dibantai sumpah serapah preman dengan buih kata-kata
yang dicomot dari tayangan debat sebuah stasiun televisi
sudah pintar rupanya preman itu
memilih kalimat politik yang berbusa-busa
juru parkir tak berkutik
lembaran uang telah beralih ke saku lain
bersama sekumpulan botol saus aneka warna
diantara minggu siang dan deru kendaraan
menjadi pengganjal perut yang tak keroncongan
potret keluarga menengah sebuah kota yang tengah menata
dalam hiruk pikuk pilkada dan aneka hidangan politik
yang merambah hingga ke kedai-kedai
aku memandang secangkir kopi yang
mulai dingin
ketika seorang tukang parkir terkapar
dibantai sumpah serapah preman dengan buih kata-kata
yang dicomot dari tayangan debat sebuah stasiun televisi
sudah pintar rupanya preman itu
memilih kalimat politik yang berbusa-busa
juru parkir tak berkutik
lembaran uang telah beralih ke saku lain
17 nop 2013
pilkada garut putaran kedua
Minggu, 03 November 2013
3 Nopember 2013
secangkir kopi dan tayangan televisi
pagi minggu di sisi kiri peta Indonesia
disinilah aku
menatapi 1,6 juta anak negeri melingkari bundaran kecil
di lembar jawaban tentang harapan
bukan lulusan perguruan tinggi yang ada di benak
melainkan para sepuh yang masih saja memegang pensil 2B
pengabdiannya telah sekian dekade
ketika anak didiknya sendiri telah menjadi pejabat
tapi selembar pengakuan pegawai negeri belum jua ia genggam
"lima tahun saja, saya bisa pensiun" ujarnya terkekeh
itupun bila usahanya kali ini mendapat kertas SK
entah bila tidak
sebab konon katanya
nama-nama para pegawai yang diangkat telah ada dalam daftar
setelah segepok rupiah mengalir deras diantara lalulintas birokrasi kantor pusat
bukan lulusan perguruan tinggi yang masih ranum yang ada di pelupuk
melainkan ibu guru senior yang seharusnya telah menikmati hasil payahnya
berjuta subuh telah ia habiskan di jalanan menuju pengabdiannya
mengantarkan sekian ribu siswanya ke gerbang universitas
tapi hari ini nyatanya ia masih disini
diantara pencari kursi masadepan
bersaing dengn anak zamannya
bukan aku tak peduli mereka yang muda
aku hanya tak habis pikir bagaimana bisa pengabdian mereka yang sepuh
tak jua dapat pengangkatan?
setelah sekian lama menunggu janji
daftar nama mereka dilibas segepok KKN
duhai
inikah Indonesia?
aku masih disini
disisi kiri peta negeri seribu pulau, seribu satu pencoleng
bersama secangkir kopi
beraroma dingin dan
sedikit pahit
pagi minggu di sisi kiri peta Indonesia
disinilah aku
menatapi 1,6 juta anak negeri melingkari bundaran kecil
di lembar jawaban tentang harapan
bukan lulusan perguruan tinggi yang ada di benak
melainkan para sepuh yang masih saja memegang pensil 2B
pengabdiannya telah sekian dekade
ketika anak didiknya sendiri telah menjadi pejabat
tapi selembar pengakuan pegawai negeri belum jua ia genggam
"lima tahun saja, saya bisa pensiun" ujarnya terkekeh
itupun bila usahanya kali ini mendapat kertas SK
entah bila tidak
sebab konon katanya
nama-nama para pegawai yang diangkat telah ada dalam daftar
setelah segepok rupiah mengalir deras diantara lalulintas birokrasi kantor pusat
bukan lulusan perguruan tinggi yang masih ranum yang ada di pelupuk
melainkan ibu guru senior yang seharusnya telah menikmati hasil payahnya
berjuta subuh telah ia habiskan di jalanan menuju pengabdiannya
mengantarkan sekian ribu siswanya ke gerbang universitas
tapi hari ini nyatanya ia masih disini
diantara pencari kursi masadepan
bersaing dengn anak zamannya
bukan aku tak peduli mereka yang muda
aku hanya tak habis pikir bagaimana bisa pengabdian mereka yang sepuh
tak jua dapat pengangkatan?
setelah sekian lama menunggu janji
daftar nama mereka dilibas segepok KKN
duhai
inikah Indonesia?
aku masih disini
disisi kiri peta negeri seribu pulau, seribu satu pencoleng
bersama secangkir kopi
beraroma dingin dan
sedikit pahit
Jumat, 01 November 2013
... silatun ...
tadi malam, kekasih ...
di dalam firmanNya
saat kueja perlahan dalam dada yang tergenggam
menemukan tarian angin, meliuk gemulai
diantara lembar ar-Rahman dan al-Waqi'ah
gerangan pesan apa yang hendak kutafsirkan oleh diri yang riuh noda?
ustadzku bilang adalah tanda hari ini atau jejak sejarah
sedang meredakan gemuruh sekeliling sajadah pun masih belum usai
bulan masih sepasi, habibie ...
di dalam kisahNya
kutemukan huruf-huruf itu bersinar membutakan mata
kupejam penglihatan
puluhan gambar lalu tercipta bak layar besar
apa yang ingin Kau sampaikan, wahai Allah
betapa bebal seonggok daging ini memahami pertandaMu
di ujung pagi,
kuledakkan tangis menemukan kembali ruang dan waktu
yaaa Allaah ...
di dalam firmanNya
saat kueja perlahan dalam dada yang tergenggam
menemukan tarian angin, meliuk gemulai
diantara lembar ar-Rahman dan al-Waqi'ah
gerangan pesan apa yang hendak kutafsirkan oleh diri yang riuh noda?
ustadzku bilang adalah tanda hari ini atau jejak sejarah
sedang meredakan gemuruh sekeliling sajadah pun masih belum usai
bulan masih sepasi, habibie ...
di dalam kisahNya
kutemukan huruf-huruf itu bersinar membutakan mata
kupejam penglihatan
puluhan gambar lalu tercipta bak layar besar
apa yang ingin Kau sampaikan, wahai Allah
betapa bebal seonggok daging ini memahami pertandaMu
di ujung pagi,
kuledakkan tangis menemukan kembali ruang dan waktu
yaaa Allaah ...
Langganan:
Postingan (Atom)