Rabu, 30 September 2015

Senin, 28 September 2015

Senin, 21 September 2015

Sonian Idul Adha

KAMBING QURBAN
menatap matamu
getaran pasrah
ajak daras
ayat-Nya


IDUL QURBAN
hari ini, sungguh
tentang hakikat
pengorbanan
ruhani

haikuKu

kueja kitab
huruf berpendar-pendar
terangi malam


bangun di shubuh
tunggu air mengalir
efek kemarau


kata dan kopi
berkejaran di lidah
menanti pagi

Minggu, 20 September 2015

Sabtu, 19 September 2015

Panggung Siang Musim Kemarau



Hari ini kulihat sebuah adegan

: Satu perempuan berkata : ‘aku merasa tak dihargai’
berlembar kisah mengalir dari kesakitan yang dalam
meski senyum masih membayang, menertawakan panggung

Satu perempuan lagi berkata : ‘bicaraku fakta,
yang salah dia, kenapa kau yang marah?’
secarik jawaban menyeruak dari ketakmengertian yang beku
meski senyum masih membayang, menertawakan panggung

topeng-topeng ditanggalkan
Sebuah drama merobek siang yang garang
Matahari enggan sembunyi, nyala membara
Angin tak sudi lewat bahkan untuk sekedar meniup 
ubun-ubun yang mendidih
sepercik bara telah terpantik
menyambar sesiapa yang lewat dekat-dekat
lalu api menggila
segala terbakar! Membakar!

tetes air hanyalah jeda semenit
api menjalar dalam sekam
membakar perlahan-lahan

duhai kemarau
seganas itukah kau kirim panasmu?
isi tubuh luruhkan keringat dan air mata

aku dipaku
tak mampu berlaku
gemuruh dada sebut namaMu
bakar aku, bakar aku,
dengan RahmatMu

19 sept ‘2015

Selasa, 15 September 2015

HaikuKu

patalimarga
di musim yang kerontang
klakson menjerit


                        kemarau panjang
                        kukirim pesan langit
                        melawan asap


siang di kompleks
musik dangdut menghentak
telinga pekak


                         di cangkir kopi
                         bulan sabit menipis
                         rindu menepi

Minggu, 13 September 2015

Jumat, 11 September 2015

Tangki Air

serupa itukah gemuruh di
dadamu? menggelontorkan berribu liter air
lewat slang yang bergetar
mengisi puluhan tong yang mengantri di
setiap rumah
di kampungku

malam serupa pasar
bulan sembunyi, malu melihat PDAM
yang jadi gagu
saat meraba jalur air yang dibelokkan
tangan politik

gemuruh masih riuh
mengoyak malam
di kampungku
serupa amarah yang menggelegak
di dadamu : 'susah senang tanggung bersama!' 

kulihat paralon sepanjang jalan
digerogoti kemarau

Usai Maghrib

betapa kutemukan ruang kosong
di ujung sujudku
ada hembus menelikung

kirim wajah  yang memutih
lalu perdebatan tentang cinta dan
catatan lama sebuah waktu yang harusnya
jadi sejarah

perjumpaan denganMu, gagal sudah
ruhku terperangkap!
sisakan tubuh yang teronggok
di atas sajadah

Tuhan ...
guyur jiwaku dengan rahmatMu

membacamu

membacamu, seribu satu tafsir berlarian
aku pandangi angin yang
menyelinap ke tubuhku dan berbisik :
'apa yang ingin kau bilang?'

pada darah yang tak henti mengalir
aku titipkan inginku sambil menghitung
waktu saat perjanjian tiba

'aku ingin memahamimu'
dan angin pergi
melintasi pagi

Andai Engkau Di Sini

Andai Engkau di sini, sekarang
ingin kulesakkan pengakuan :
betapa nista kami

maafkan kami yang tak mampu
menahan kata, tersembur begitu liar
saling menghujat
menancapkan mata panah

harusnya malu kami menyebut sebagai ummatmu
sedang wajahmu tentulah engkau palingkan
saat kata-kata menjelma bah
wajah-wajah berhadapan dendam dan amarah

duhai Kekasih ...
dengan apa harus kubasuh luka hatimu
yang bernanah ..?

Andai Engkau di sini, sekarang
masihkah dengar rintihan ini?
bagai musafir rindu mata air
luka yang makin menganga oleh
kedhaliman diri

duhai  Kekasih ...
bagaimana mengusap air matamu?
sedang demikian bebal kami
tak jua paham kelembutan jiwamu saat
menyebut kami jelang ajal : ummatii ... ummatii .. ummatii ...

Andai saja Engkau ada di sini, sekarang


Kamis, 10 September 2015

Padamu

Wahai sahabat penentang kejahiliyan
telahkah engkau tundukkan hatimu sendiri
pada kebenaran yang engkau buihkan
pada kebaikan yang engkau lisankan
hingga tiada lagi pertentangan yang melibatkanmu
atas nama apapun ...?



Selasa, 08 September 2015

Pusaran Rasa

berkata-kata pada sendiri
memusarakan prasangka yang meracun
perdebatan sunyi
memerdekakan pribadi

pada kesejatian 
biarkan rahwana berbuih seorang
sebab dengannya
bara api membakar hingga
mati nurani

turbulensi rasa
memusat di palung jiwa

bahasa langit

bahasa langit