sejarah kelabu
hati membeku
lima puluh
berlalu
#50thnG30SPKI
Rabu, 30 September 2015
Senin, 21 September 2015
Sonian Idul Adha
KAMBING QURBAN
menatap matamu
getaran pasrah
ajak daras
ayat-Nya
IDUL QURBAN
hari ini, sungguh
tentang hakikat
pengorbanan
ruhani
menatap matamu
getaran pasrah
ajak daras
ayat-Nya
IDUL QURBAN
hari ini, sungguh
tentang hakikat
pengorbanan
ruhani
haikuKu
kueja kitab
huruf berpendar-pendar
terangi malam
bangun di shubuh
tunggu air mengalir
efek kemarau
kata dan kopi
berkejaran di lidah
menanti pagi
huruf berpendar-pendar
terangi malam
bangun di shubuh
tunggu air mengalir
efek kemarau
kata dan kopi
berkejaran di lidah
menanti pagi
Minggu, 20 September 2015
Sabtu, 19 September 2015
Panggung Siang Musim Kemarau
Hari ini kulihat sebuah adegan
: Satu perempuan berkata : ‘aku merasa tak dihargai’
berlembar kisah mengalir dari kesakitan yang dalam
meski senyum masih membayang, menertawakan panggung
Satu perempuan lagi berkata : ‘bicaraku fakta,
yang salah dia, kenapa kau yang marah?’
secarik jawaban menyeruak dari ketakmengertian yang beku
meski senyum masih membayang, menertawakan panggung
topeng-topeng ditanggalkan
Sebuah drama merobek siang yang garang
Matahari enggan sembunyi, nyala membara
Angin tak sudi lewat bahkan untuk sekedar meniup
ubun-ubun yang mendidih
sepercik bara telah terpantik
menyambar sesiapa yang lewat dekat-dekat
lalu api menggila
segala terbakar! Membakar!
tetes air hanyalah jeda semenit
api menjalar dalam sekam
membakar perlahan-lahan
duhai kemarau
seganas itukah kau kirim panasmu?
isi tubuh luruhkan keringat dan air mata
aku dipaku
tak mampu berlaku
gemuruh dada sebut namaMu
bakar aku, bakar aku,
dengan RahmatMu
19 sept ‘2015
Selasa, 15 September 2015
HaikuKu
patalimarga
di musim yang kerontang
klakson menjerit
kemarau panjang
kukirim pesan langit
melawan asap
siang di kompleks
musik dangdut menghentak
telinga pekak
di cangkir kopi
bulan sabit menipis
rindu menepi
di musim yang kerontang
klakson menjerit
kemarau panjang
kukirim pesan langit
melawan asap
siang di kompleks
musik dangdut menghentak
telinga pekak
di cangkir kopi
bulan sabit menipis
rindu menepi
Minggu, 13 September 2015
Jumat, 11 September 2015
Tangki Air
serupa itukah gemuruh di
dadamu? menggelontorkan berribu liter air
lewat slang yang bergetar
mengisi puluhan tong yang mengantri di
setiap rumah
di kampungku
malam serupa pasar
bulan sembunyi, malu melihat PDAM
yang jadi gagu
saat meraba jalur air yang dibelokkan
tangan politik
gemuruh masih riuh
mengoyak malam
di kampungku
serupa amarah yang menggelegak
di dadamu : 'susah senang tanggung bersama!'
kulihat paralon sepanjang jalan
digerogoti kemarau
dadamu? menggelontorkan berribu liter air
lewat slang yang bergetar
mengisi puluhan tong yang mengantri di
setiap rumah
di kampungku
malam serupa pasar
bulan sembunyi, malu melihat PDAM
yang jadi gagu
saat meraba jalur air yang dibelokkan
tangan politik
gemuruh masih riuh
mengoyak malam
di kampungku
serupa amarah yang menggelegak
di dadamu : 'susah senang tanggung bersama!'
kulihat paralon sepanjang jalan
digerogoti kemarau
Usai Maghrib
betapa kutemukan ruang kosong
di ujung sujudku
ada hembus menelikung
kirim wajah yang memutih
lalu perdebatan tentang cinta dan
catatan lama sebuah waktu yang harusnya
jadi sejarah
perjumpaan denganMu, gagal sudah
ruhku terperangkap!
sisakan tubuh yang teronggok
di atas sajadah
Tuhan ...
guyur jiwaku dengan rahmatMu
di ujung sujudku
ada hembus menelikung
kirim wajah yang memutih
lalu perdebatan tentang cinta dan
catatan lama sebuah waktu yang harusnya
jadi sejarah
perjumpaan denganMu, gagal sudah
ruhku terperangkap!
sisakan tubuh yang teronggok
di atas sajadah
Tuhan ...
guyur jiwaku dengan rahmatMu
membacamu
membacamu, seribu satu tafsir berlarian
aku pandangi angin yang
menyelinap ke tubuhku dan berbisik :
'apa yang ingin kau bilang?'
pada darah yang tak henti mengalir
aku titipkan inginku sambil menghitung
waktu saat perjanjian tiba
'aku ingin memahamimu'
dan angin pergi
melintasi pagi
aku pandangi angin yang
menyelinap ke tubuhku dan berbisik :
'apa yang ingin kau bilang?'
pada darah yang tak henti mengalir
aku titipkan inginku sambil menghitung
waktu saat perjanjian tiba
'aku ingin memahamimu'
dan angin pergi
melintasi pagi
Andai Engkau Di Sini
Andai Engkau di sini, sekarang
ingin kulesakkan pengakuan :
betapa nista kami
maafkan kami yang tak mampu
menahan kata, tersembur begitu liar
saling menghujat
menancapkan mata panah
harusnya malu kami menyebut sebagai ummatmu
sedang wajahmu tentulah engkau palingkan
saat kata-kata menjelma bah
wajah-wajah berhadapan dendam dan amarah
duhai Kekasih ...
dengan apa harus kubasuh luka hatimu
yang bernanah ..?
Andai Engkau di sini, sekarang
masihkah dengar rintihan ini?
bagai musafir rindu mata air
luka yang makin menganga oleh
kedhaliman diri
duhai Kekasih ...
bagaimana mengusap air matamu?
sedang demikian bebal kami
tak jua paham kelembutan jiwamu saat
menyebut kami jelang ajal : ummatii ... ummatii .. ummatii ...
Andai saja Engkau ada di sini, sekarang
ingin kulesakkan pengakuan :
betapa nista kami
maafkan kami yang tak mampu
menahan kata, tersembur begitu liar
saling menghujat
menancapkan mata panah
harusnya malu kami menyebut sebagai ummatmu
sedang wajahmu tentulah engkau palingkan
saat kata-kata menjelma bah
wajah-wajah berhadapan dendam dan amarah
duhai Kekasih ...
dengan apa harus kubasuh luka hatimu
yang bernanah ..?
Andai Engkau di sini, sekarang
masihkah dengar rintihan ini?
bagai musafir rindu mata air
luka yang makin menganga oleh
kedhaliman diri
duhai Kekasih ...
bagaimana mengusap air matamu?
sedang demikian bebal kami
tak jua paham kelembutan jiwamu saat
menyebut kami jelang ajal : ummatii ... ummatii .. ummatii ...
Andai saja Engkau ada di sini, sekarang
Kamis, 10 September 2015
Padamu
Wahai sahabat penentang kejahiliyan
telahkah engkau tundukkan hatimu sendiri
pada kebenaran yang engkau buihkan
pada kebaikan yang engkau lisankan
hingga tiada lagi pertentangan yang melibatkanmu
atas nama apapun ...?
telahkah engkau tundukkan hatimu sendiri
pada kebenaran yang engkau buihkan
pada kebaikan yang engkau lisankan
hingga tiada lagi pertentangan yang melibatkanmu
atas nama apapun ...?
Selasa, 08 September 2015
Pusaran Rasa
berkata-kata pada sendiri
memusarakan prasangka yang meracun
perdebatan sunyi
memerdekakan pribadi
pada kesejatian
biarkan rahwana berbuih seorang
sebab dengannya
bara api membakar hingga
mati nurani
turbulensi rasa
memusat di palung jiwa
memusarakan prasangka yang meracun
perdebatan sunyi
memerdekakan pribadi
pada kesejatian
biarkan rahwana berbuih seorang
sebab dengannya
bara api membakar hingga
mati nurani
turbulensi rasa
memusat di palung jiwa
Langganan:
Postingan (Atom)