Selasa, 31 Desember 2013

Catatan Akhir Tahun

maghrib baru saja lewat
meninggalkan kelebat kisah setahun kemarin
pekik petasan menumpulkan salam
yang tengah kususun bersama tasbih
berselang serapah yang lindap di
kesadaran yang datang bersama ribuan kunang-kunang

sejatinya ini malam kontemplasi
namun suara riuh dan gempita justru menyelimuti
bersama kepulan asap petasan, kembang api, rokok dan
knalpot; riuh bersahutan bersama teriak manusia
merayakan apa? entah ...

kubuka jendela
menengadahkan kepala pada langit yang terpana
bintang menjauh bulan menepi
waktu telah terpotong-topong begitu liar
di sana musik dangdut menggoyang lapangan
pekak telinga ini
sesak dada ini
sementara kepal tangan ini tak melakukan apa-apa
selain menuliskan
malam tanpa bintang
malam ini

Tuhan ...
jangan tinggalkan kami



Puisi karya Soni Farid Maulana

Variasi Hujan Pagi

1. 
"Tolong tangguhkan penahanan kami,
jangan dikurung kayak begini; kayak tikus
kurang makan," keluh seorang tersangka
kasus korupsi kelas tinggi. Parasnya

bagai kepiting rebus. Di kedua pipinya
ada jejak air mata. Air mata kepedihan,
yang ngalir dari kedalaman hatinya. Nun
di Banten sana; - ada rakyat yang gembira;

ada juga jawara yang sedih murung,
merasa yakin; bahwa ia tak bersalah. Tak
tampak noda pada sejumlah kain baju

yang dipakainya; yang dibeli dari negeri jiran
dengan harga yang mahal. "Tangguhkan
penahanan kami. Rakyat butuh kami," lhayalnya.

2.
Di blok yang lain; di balik jeruji besi
ada yang mengaduh diseruduk sapi. Duh Gusti,
kok bisa seorang kiai; - kemaruk korupsi.
Demi apa semua itu dilakukan? Demi

pundi-pundi partai politik, atau nikmat
syahwat bini muda? Demi apa semua itu
dilakukan, sungguh aku tak mengerti;
sebab di hati dan kepalanya; - ada ayat suci

ditatah dengan indah. Dibaca saat salat,
diwirid tengah malam. Saat vonis tiba
kawan seiring berteriak, "Terlalu berat

hukuman buat dia!" negeri pun
gempar. Dan orang mengutuk
dan memuji KPK. Ya!

3.
Ada ganja, ada lintingan ganja
dalam lemari meja kerjanya. Bukankah
ia seorang hakim? Hmm, ada juga
aliran dana ke rekening pelantun dangdut.

"Adakah ia maduk goyang dombret?" Teriak meja
dan kursi pengadilan. Cantik, memang.
Tapi angin terasa dingin. Dan ia tak bicara, tak
mau bicara. Tapi sisa kopi di Singapura

jadi bukti perkara. Walau keras sungguh
ia menyangkal. Sungguh KPK tak hilang
akal. "Saudara tersangka, ada tiga

kasus lain yang menjerat saudara!"
kata juru bicara KPK. Langit mendung
hidup pun murung. Murung.

4. 
Ada pekik burung hantu di Hambalang
membentur dinding bangunan runtuh;
di jauhnya ada partai politik oleng, dihantam
badai korupsi. Ada juga ketua partai politik

yang dijatuhkan; dan di televisi berkata;
akan kami buka dan kami baca jilid pertama.
Dan kini, cerita apa yang dibacanya? Tak ada,
hanya berita riuh : - omong kosong semata.

"Malah ia jadi tersangka; tapi belum masuk penjara.
Tapi temannya sudah lebih dulu
ada di sana," kata batu bata yang patah,

di Hambalang. Koran pun kembali ramai
bicara; - ada yang merasa khawatir digulingkan;
anak penguasa disebut dalam banyak perkara.

5.
Ada juga wakil presiden yang cemas
takut kebakar bara Century. Ah ya, bukan
hanya dia. Ada banyak pihak yang resah;
walau yang lain sudah masuk penjara.

"Negeri ini memang sedang sakit," kata
tiang listrik dekat pos ronda. "Piye kabare,
enak zamanku tho?" kata sebuah iklan
mantan presiden di pantat sebuah truk

yang catnya sudah melepuh. Belum lagi
demo buruh minta kenaikan upah,
belum lagi ada banyak wali kota;

yang juga masuk penjara. "Bansos! Bansos!"
kata seorang anak menjajakan koran
di sebuah jalan kota praja. Kota praja

6.
Dalam hening; aku ingat Harry Roesli
menembang tengah malam;
"Jangan menangis Indonesia!" Ya.
Tapi air mata menyungai sudah ke arah kiblat.

"Dan para koruptor sejatinya pengkhianat
bangsa dan negara," begitu tulis spanduk
diarak dalam berbagai demo. "Aneh, ini
negara macam apa. Kok bisa mereka

mengendalikan negara dari balik
jeruji besi?" teriak pengamat politik,
dan banjir melanda di mana-mana.

"Jangan menangis Indonesia,"
Kata Harry Roesli. Tembang itu
kekal dalam ingatan. Ya.

2013

(dari harian Pikiran Rakyat, 31 Desember 2013

 



Jumat, 20 Desember 2013

20 Desember 2013

ciuman fajar ini
bergumam lirih
selamat ulang tahun, sayang ...

betapa sederhana cinta yang kau berikan
betapa mewah yang kurasakan

kusungkurkan segalaku pada Pemilik kita
kulafadzkan keindahanNya
sebab dariNya kita rasakan keindahan itu

ini pagiku
di empatpuluhtujuh langkah nafasku
tak bisa kuelak
indah itu saat bersamamu

dalam genggamNya

Rabu, 18 Desember 2013

ketika engkau pergi

sepi
hanyalah bentuk lain dari keriuhan yang
tak mampu bicara
pada ketika engkau memandang sunset
yang serupa
pada jemari yang tak saling
menggenggam

lirih
hanyalah nyanyian bintang
bersama rindu yang gelora
disapu angin
malam ini

engkau di tepi laut
aku di kaki gunung

sepi ini memagut kita
lirih ini menyapu rasa

kau dan aku faham
semesta kita tak pernah menjauh

tak ada judul

kerapkali
hati adalah rumah singgah bagi sejarah
yang menguap bersama para pengkhianat
lalu
elang mencengkram segala rasa
dilemparkan pada lautan yang gelora
satu per satu
kembali
ke
titik nol

... pergilah ...

Pergi ...
pergilah
bersama hujan yang jatuh
hanyut membuntuti arus
ke
laut

Pergilah ...
ini bukan
untukmu
bersampan

Selasa, 10 Desember 2013

PUISI KOPI

menemukan butiran kenang
di secangkir kopi sore ini
aku tahu hujan di luar itu bukan dirimu yang menghilang
dari masa silam
ketika sekumpulan kunang-kunang meneriaki malam di beranda masjid
lalu adakah pertemuan yang menjadi perintang?
suaramukah diantara deras yang menghujan?
bahkan selokan tak lagi mampu mengalirkan rindu
ia meluap membanjiri kota
duhai
kopi ini mulai lekas dingin
sedingin itukah cerita ini akan diakhiri?

(*antara hujan dan kopi dingin
 4 Februari 2013

Minggu, 01 Desember 2013

aku hanya ingin diajari

22.05
disini aku
bersama jarum jam yang berdetak
dan sesekali sisa hujan dari genting di teras belakang
menghitung perjalanan yang seharusnya tak mesti dihitung
sebab ia bukan matematika

tetiba aku digerakkan
membuka mushaf di surat ke duapuluh dua ayat kelima
tentang proses penciptaan
bermula tanah dan air yang hina
(punya apa kamu??)
dan hari berbangkit
tentang kering dan gersang lalu disirami hujan
tentang bumi yang hidup
tentang sebuah seruan untuk berfikir
tentang pelajaran belajar
seperti tawanan aku tak mampu berkutik
dalam ketakutan yang pekat
banjir peluh bergulung-gulung


seperti halnya cinta
ketakutan tak bisa ditafsirkan
biarkan ia menemukan pasangannya
untuk menggenapi segala keganjilan
 hening menghinggapi
hanya ketukan tombol keyboard dan ruh yang tak diam
terbuka bersama kitab yang membentang
menemani malam

aku hanya ingin diajari

ajari aku belajar

Tuhan
ajari aku apa saja untuk mau belajar
selain kembali pada kedunguan yang terus membelit
tak kunjung aku belajar
dari setiap besarnya Rahman Rahim Mu yang tak henti
meninabobokan tidur panjangku

Tuhan
mengapa aku tak pernah mampu merantai iblis
yang mengangkangi eksistensiku
bisikan halus bagai sutera merah dewangga
memenjarakan keangkuhan tentang
jiwa yang suci
seperti danau yang tenang
dengan pusaran yang mematikan
di dasar terdalam

Tuhan
aku takut
pada kearifan yang datang dari selain Mu
seperti belajar yang tak pernah
memberiku pelajaran
selain rangkaian buih

tentang desember

aku tahu
seperti hari, ia ada di persimpangan antara
tidur dan jaga
menjadi keranjang kontemplasi bagi sebagian
atau hilang ditelan impian yang tak berjudul lalu lupa
esok paginya

bagiku
desember seperti air
atau bagaikan tanah
sesekali seperti angin
tak terjelaskan
sebab tak butuh penjelasan
ia adalah pengalaman
dimana aku ditakdirkan untuk lahir
dan merasai
setiap jengkal waktu

lalu padanya aku bercermin



bahasa langit

bahasa langit